Tuesday, January 25, 2022

Jadi

 Ia masih terbaring di kasurnya, ketika waktu pagi masih belum Subuh, wajahnya menatapi langit-langit dinding. Bohlam yang cahayanya berwarna kuning itu memendar di ruangan yang hanya empat kali tiga meter itu, dan juga di bola matanya, cahaya itu seakan-masuk ke dalam matanya, bahkan ke dalam batinnya, juga hatinya dan perasaannya yang seakan serupa dengan warna bohlam itu. Kepalanya juga berasa pusing, ia banyak pikiran, di benaknya meruang kenangan akan keberadaan istri dan anaknya, juga masalah keuangan, seperti hutang dan kebutuhan sehari-harinya. Terlihat di kamar itu ada rak baju, botol besar air mineral, dan juga foto keluarganya—yang sehati itu, yakni ia bersama istrinya, yang sudah ia ceraikan namun ia masih cintai itu, dan juga anaknya yang juga ia cinta. Ada tubuh anak kecil yang juga terbaring di sebelahnya yang sudah terbangun. “Nak, kamu mau sarapan apa?” tanya Agus kepada anaknya Budi yang kemarin ia belum sempat mengobrol dengan anaknya, karena sudah tertidur. Budi yang sedang mengucek-ucek matanya kemudian menjawab, “Roti, Pak.” Agus hanya tersenyum lantas mengiyakan. Agus keluar dari kamar kontrakanya lalu menuruni beberapa anak tangga menuju ke warung untuk berbelanja. Ia melewati jalan gang itu, yang di sebelah kanan dan kirinya ada rumah sederhana yang berdiri. “Bu, rotinya satu,” pinta Agus. Ibu warung kemudian memberikan satu buah roti seharga Rp.2000 kepadanya. “Hutang dulu bu.” Ibu warung itu hanya mengangguk seakan pasrah. Agus masuk ke dalam kamarnya lagi, “Bapak, ada rotinya?” tanya Budi yang sedang terduduk, lalu Agus menjawab, “Ada.” Lantas Agus memberikan roti itu kepada anaknya, yang kemudian Budi makan. Agus kemudian ke kamar mandi untuk bersiap mandi. Sekembalinya ke kamar, terlihat Budi sedang terbaring. Setelah itu ia memakai pakaian rapi. “Selamat ulang tahun ya, Nak.” Bisik Agus kepada Budi. Budi mengangguk, “Iya,” kata Budi. Budi kemudian berbicara kepada Bapaknya itu untuk membelikan mainan berupa mobil-mobilan sebagai hadiah ulang tahunnya. Ulang tahun Budi tidak mungkin Agus lupa karena ia anak semata wayang yang ia cinta dan sayang. Anaknya hasil buah cintanya dengan istrinya yang berulang tahun hari itu, yakni hari yang sama dengan hari pernikahannya dengan ibunya Agus, Rabu. Adzan Shubuh kemudian berkumandang. Agus pun pergi bekerja, walaupun sedang pusing sejak beberapa hari yang lalu yang terjadi sejak lama. “Bapak bekerja dulu Budi.” Ucap Agus setelah mencium anaknya Budi, yang seakan pula ia mencium istrinya yang masih cintai dan yang ia rindukan itu.

***
“Kemana Agus ya, kok belum datang jam segini?” tanya Jaka yang terlihat sedang terduduk. “Tuh dia lagi jalan ke sini!” jawab Iwan yang melihat Agus dari kejauhan yang juga sedang terduduk sambil mengopi. Sang mandor itu pun mengangguk. Kelima orang tukang bangunan itu menunggu pekerjaan untuk dikerjakan. Agus datang, yang kemudian, ia bersalaman dengan sambil tersenyum dengan tukang lain yang sedang duduk di dalam rumah yang sedang direnovasi itu. Kemudian Agus dan teman-temannya mulai bekerja. Mandor terlihat menyusun batu-bata untuk membikin pagar, sedangkan Agus sendiri sedang mengaduk semen, sementara yang lainnya juga terlihat dengan pekerjaannya masing-masing. Sambil mengaduk semen, Agus teringat kebaikan Sang Mandor kepadanya, yakni mengajaknya bekerja. Sang Mandor memang sudah menjadi kenalan Agus semenjak ia ke Jakarta—meski ia sudah tidak punya kampung halaman lagi, karena rumah dan sawah orang tuanya di kampung sudah dihabiskan untuk warisan saudara-saudaranya. Pada waktu itu Sang Mandor sedang menawarkan diri bekerja di rumahnya, yakni membangun pagar yang sedang diperbaiki oleh Agus. “Maaf Mas, saya belum butuh.” Jawab Agus kepada Sang Mandor yang memperkenalkan dirinya sebagai Jaka, yang terlihat sebagai orang yang baik itu menurut perasaannya. Jaka yang bekerja sebagai mandor kemudian meminta saling bertukar nomor telepon genggam. Dari sana perkenalan mereka berjalan dengan baik. Kadang Agus mampir ke tempat Jaka, yang tempatnya berada di sebuah taman. “Kalau ada kebutuhan mendesak hubungi saya saja Mas, semoga saya bisa bantu.” Kata Agus kepada Jaka. Jaka terlihat amat senang. Kemudian mereka bercengkerama panjang. Terlihat dari pencengkeramaannya, Agus memang orang yang mudah sekali berteman, bukan hanya kepada kelasnya namun sampai ke kelas lain di masyarakat. Agus terus mengaduk semen, sesekali ia memasukkan semen ke dalam ember berwarna hitam. Selain mengaduk semen ia juga bisa merasakan keberadaan rumah yang sedang ia bersama kawan-kawannya sesama tukang bangunan itu renovasi. “Kesinikan lagi Gus, semennya!” perintah Sang Mandor, dan Agus mengiyakan, ia bekerja sangat rajin walau ia sedang pusing. Rumah yang sedang Agus dan tukang bangunan lainnya renovasi yang sudah terjadi beberapa hari itu seperti rumah Agus yang dulu yakni cukup nyaman. Merasakan itu Agus jadi bersedih, perasaannya bercampur baur. Rumahnya yang dulu itu, yang sudah ia tinggalkan, itu milik istrinya, yang ia cintai, yang beberapa bulan lalu ia ceraikan. Agus kemudian membawa semen adukannya yang diisi ke dalam ember itu ke Sang Mandor.
***
Banyak anak yang sedang bermain. Beberapa di antaranya Budi dan kawan-kawannya. Budi menendang bola ke arah temannya. Namun bola itu melenceng jauh, ia kurang konsentrasi, Budi sedang merindukan Bapak dan Ibunya yang ia lihat saling mencinta itu. Lantas karena bola tendangannya itu yang melenceng jauh, Budi ditertawakan oleh teman-temannya itu. Budi juga ikut tertawa. Tertawaan-tertawaan itu menjadikan Budi teringat suatu hal, yakni ketika ia bersama ibu dan bapaknya berjalan-jalan ke sebuah tempat wisata. Pada waktu itu Budi dan kedua orang tuanya sangat bahagia, sampai-sampai malam hari mereka terbawa mimpi dan saling menceritakan mimpinya satu sama lain. Mimpinya hampir sama. Perasaan mereka sangat bahagia pada waktu itu. “Nih, Bud bolanya!” ujar teman Budi, yang kemudian melemparkan bola itu kepadanya. Budi lantas menendang bola itu lagi. Nampak keseruan anak-anak yang bermain bola, anak itu ada tiga orang. Budi senang sekali bermain bola dengan teman-temannya, walau ia tak lupa untuk bersekolah nantinya.
***
Waktu sudah hampir Maghrib. Pekerjaan Agus di hari itu hampir selesai. Ia bersiap untuk pulang ke kontrakannya untuk bertemu anaknya yang ia cintai dan rindukan itu.  Mungkin anaknya sedang bersama tetangganya yang Budi titipkan kepadanya, pikir Agus. “Hati-hati di jalan, ya Gus” ujar Iwan kepada Agus. Agus mengiyakannya. Kemudian Agus bersalaman kepada teman-temannya sesama tukang bangunan itu. Di perjalanan Agus sesekali berpikir tentang anaknya, dan istrinya yang sudah ia ceraikan itu, juga terkadang ia berpikir tentang pekerjaannya yang berat itu. Agus kemudian mampir ke sebuah toko mainan anak-anak dan membeli sebuah mobil-mobilan seharga 25.000 itu untuk hadiah anaknya yang sedang berulang tahun. Dari toko mainan tadi, ia kemudian berjalan lagi menuju kontrakannya. Banyak mobil dan motor yang berseliweran di jalan itu. Jalanan cukup ramai. Di benak Agus, ia mengingat kejadian beberapa bulan lalu, yang masih menghantui pikirannya, yakni perkelahiannya dengan seseorang yang ingin menculik anak dan mengganggu istrinya. Orang yang mengganggu itu terbunuh oleh tangan Agus, yang menyebabkan ia masuk penjara selama 5 tahun lebih 6 bulan, yang untungnya baginya tidak terlalu lama, karena kekuatan pengacara yang ia miliki, yang pengacara itu dibayar dari tabungannya selama itu. Yang karena pembunuhan itu, orang tua dari istrinya memintanya untuk menceraikan anaknya, yakni istri Agus. Agus hanya berpasrah pada nasibnya itu. Agus terus berjalan menyusuri jalan itu. Ada hal yang menarik pandangan matanya di jalan itu, yakni sekumpulan keluarga yang sedang berbelanja di pinggir jalan. Keluarga itu sangat bahagia. Agus jadi teringat keluarganya yang dulu pernah bahagia. Pandangan mata Agus sempat terhalang bis yang lewat. Namun setelah bis itu lewat ia menjadi kebingungan. “Kemana keluarga yang bahagia itu,” pikirnya. “Mobilnya pun tidak ada, di sana atau di jalan,” ujarnya lagi dalam hati. Kemudian dengan jelas ia melihat palang tulisan yang tertulis “TEMPAT MENJUAL MASA LALU”. Agus kemudian tersentak,  matanya terpana.
***
Agus sudah sampai ke kontrakannya, ia masih penasaran dengan apa yang terjadinya di jalan itu, yang menyentak perasaannya. “Sayang, gimana sekolahnya hari ini?” tanya Agus kepada Budi yang sedang bermain permainan dari telepon genggamnya. Budi terseyum lantas menjawab, ‘’Baik, Pak.” Kemudian Agus memeluk Budi. “Nih mainan mobil-mobilannya untuk hadiah ulang tahun Budi.” Budi langsung memeluk Agus, saking senangnya. “tek…” lampu mati, Agus dan Budi kaget. “Agus…” ujar seseorang di belakangnya. Agus teringat orang yang berada di seberang jalan itu yakni kios “TEMPAT MENJUAL MASA LALU”. Seperti tindakan spontan ia lakukan, “Jadi…” meskipun kurang yakin uangnya cukup, sambil bersalaman Agus berujar kepadanya. Lampu kemudian menyala lagi. Terlihat Istri, anaknya dan dia sedang duduk di kasur kamarnya, di rumahnya yang dulu dan lama kelamaan semakin menjauh.




No comments:

Post a Comment

Cintaku Cuma Kamu