Dekapan tangan Ani terlepas dari genggaman ibunya,
Wati, ketika kaki kecilnya beranjak melangkah dari tanah becek menuju lantai
kusam berdebu. Sambil terisak, gadis kecil berusia 5 (lima) tahun itu berteriak
kepada sang ibu di salah satu toko mainan, “Bu, beliin Ani boneka yang
itu, seperti yang Yani punya!” Sang ibu, 23 tahun, yang sedang berada di
luar toko yang menawar cabai yang harganya makin mencekik pundak, berlari
menuju Ani, sambil mengangkat daster lusuhnya, sandal jepitnya berkeciplakan,
menapaki tanah yang becek, “Nanti Ani.” Ani yang sedari tadi melihat keadaan
sekeliling pasar yang ramai, penuh dengan kegiatan rumah tangga, kemudian hanya
terpaku pada satu benda yang ingin sekali ia punya. Matanya menerawang. Boneka.
Benda yang sudah ia idamkan sejak lama, setiap kali ia
datang ke pasar tradisional itu. Tangan Ani yang kecil menyentuh mainan besar
yang dibungkus plastik itu, kemudian mengelusnya perlahan dengan penuh perasaan
kasih, “Itu harganya Rp.200.000 Dik” kata penjual yang sedang sibuk menikmati
jajanan rujaknya yang sebentar-sebentar digoyang-goyangkan untuk menghindari
sergapan lalat yang terlihat menjijikkan. “Oh, iya Mbak, emang ini anak bandel,
banyak maunya.” Penjual hanya tersenyum sambil memasukkan bengkoang, sama sambel,
dan mungkin beberapa kotoran lalat yang mampir ke dalam perutnya yang besar
itu. Ani dan Wati melangkah dari tempat yang penuh sampah dimana-mana.
***
Pagi itu, seperti hari-hari biasanya, Gang Gelonggong
yang terletak di pusat perkotaan, di antara 2 (dua) apartemen komersil, dan
pusat perbelanjaan padat. Kendaraan beroda-roda yang berhamburan di
sekelilinginya, orang-orang juga lalu lalang disekitarnya. Ada yang sibuk
dengan telepon genggamnya, entah sedang menelepon siapa, ada juga anak kecil
yang sedang meminta-minta di setiap kaca jendela mobil. Menciptakan simpul mati
yang tak beraturan..
Matahari yang makin meninggi terlihat dari balik
kabel-kabel listrik yang hitam yang yang berjuntai dari tiang listrik-tiang
listrik yang berdekatan dan yang berjauhan. Seng, kardus bekas, triplek, dan
alat bangunan lain yang tua-tua yang dijadikan tempat bernaung warga Gang
Glonggong dari hari ke hari, meski kadang saling mengancam dalam senyum yang
miris.
Di gang itu yang terdiri dari beberapa petak lahan,
manusia berhamburan dari rumahnya, seperti tikus yang sedang kelaparan mau
mencari makan. Antara satu rumah dengan rumah lain tak ada jarak. Dan
rumah-rumah itu saling berhadapan secara rapat, mungkin hanya 2 (dua) langkah
kaki dewasa.
Terlihat seorang pria yang membersihkan gerobaknya
dengan air dari sebuah selang yang terlampau panjang. Saking panjangnya
selang itu mungkin lebih panjang dari nyawa warga sekitar. Selang itu disambungkan
dari kamar mandi warga kampung yang memiliki air berlimpah, melewati ruang
tengah, ruang makan, sekaligus tempat tidur, kemudian sampai di halaman depan
yang tertutup gerobak.
Kalau kita coba tengok ke dalam rumah itu, mungkin ia
tidak terlihat karena pintu rumah ketutupan gerobak. “Pak, lagi
bersih-bersih?” tegur seorang satpam yang di siang hari pun memakai pakaian
satpam, bukan karena ia satpam yang rajin, tapi karena tidak ada pakaian ganti
lain selain baju satpam. Dan pakaian itu adalah pakaian kebanggannya. Karena ia
telah lama menjadi satpam, dan karena itu pula ia dikenal warga kampung sebagai
“Pak Satpam”.
“Iya nih, kalo gerobak saya kotor mana
mau pembeli membeli Mie Ayam buatan saya.” kata Mas Acoy, pemuda keturunan,
sambil menyemburkan air ke gerboknya, lantas ia elap dengan kain lusuh, bekas
ia injak-injak.
Air cucian gerobak Mas Acoy mengalir kemana-mana,
sudah seperti aliran Sungai Bengawan Solo; mengalir sampai jauh. Ia mengalir
dari hilir ke hulu, anak-anak kecil yang bermain air menciprat-cipratkan
genangan air di sebuah legokan. Air itu mengalir dari sisi ke sisi, menyusuri
jalanan yang dipenuhi sampah di kedua sisinya.
“Sialan nih anak, kecil-kecil udah nyusahin orang!”
teriak Bu Pojo, wanita bertubuh tambun yang sedang menyapu halamannya.
“Ngapain sih ibu marah-marahin anak
kecil, mending bikinin sarapan buat bapak.” seorang tua yang bertubuh
kekar itu menyaut malas kepada sang istri yang sedang sibuk menyapu.
“Dasar pengangguran! Kerjaannya nyuruh orang doang,
sana cari kerja buat makan!” Bu Pojo ngamuk melihat tingkah polah
suaminya yang ia rasa sudah kelewatan itu. Bu Pojo merasa dipekerjakan secara
paksa. Ia merasa suaminya itu semacam penjajah Belanda yang membunuh kakeknya
yang veteran dan yang memeras keringat dan menghisap darah rakyat yang
terjajah. Namun ia tidak bisa apa-apa, karena tidak ada pilihan lain. Mau
cerai? Takut dosa, takut suami, takut anaknya terlantar, dan ketakutan lainnya.
Kemudian Ibu itu bilang begini, “Noh, liat anak lo
tiduran doang di kamar atas, abis mabok kayaknya tuh!” mulutnya yang
penuh dengan amarah terus melontarkan kata-kata penuh cacian, “Bapaknya aja
kayak gini, mana mau anaknya cari kerja!” Bapak itu hanya tersenyum kecut,
lalu melanjutkan tidurnya yang kepagian itu.
***
“Nah, seneng gak udah dibeliin boneka ama
enon yang tadi?” kata Wati yang sambil menggendong belanjaannya
ke atas becak. “Seneng banget, Bu.” jawab Ani dengan tanpa
menghiraukan Ibunya yang sedang sibuk. Mata Ani berbinar-binar, sambil terus
mendekap boneka itu, dicium-ciumnya, seperti sedang mendekap nyawanya sendiri.
Keringat Wati berjatuhan dari atas becak di antara ke
kedua kakinya yang kurus namun tegap. Lelah telah menyusuri pasar yang luas dan
berdesak-desakkan. Namun itu semua belum selesai. Pelanggannya telah menantinya
untuk diberi makan. Sementara supir becak terus menginjak sadelnya, tak berkata
apa apa, hanya berharap bahwa mereka berdua bukanlah penumpang terakhir pada hari
itu.
“Nanti Ani bantuin ibu jualan nasi uduk ya?”
kata sang ibu sambil mengelus rambut Ani.
“Gak ah, Ani mau main aja sama boneka
ini, Bu.” Ani masih mendekap boneka itu. Ibunya tersenyum. Di becak itu yang
sedang melaju di jalan raya ibu kota yang padat, badan Ani yang kecil terhimpit
di antara sayuran, beras, minyak goreng, dan badan sang ibu yang penuh peluh.
Jalanan itu cukup lapang, namun begitu bukan berarti tidak sempit. Mobil dan
motor keder dimana-mana, bolak-balik sibuk mengantarkan
penumpangnya menuju tempatnya masing-masing. Kadang asap kendaraan menerpa
tubuh kedua anak manusia yang sedang duduk di atas becak. Mereka hanya bisa
menutup hidungnya dengan tangannya yang kusam, dipenuhi berbagai macam kotoran,
kuman, dan getir hidup yang tertulis di antara jari-jari telapak tangannya yang
tegar.
***
“Sempit amat
nih jalanan.” seorang mahasiswa menyaut dari depan becak tua itu. Terlihat di
sepeda motor baru produksi Japan yang masih mulus, seorang pemuda sedang
membonceng seorang gadis. Motor itu sulit melewati jalanan itu karena ada becak
di depannya, dan sulit mundur karena ada gerobak Mie Acoy yang mau keluar dari
gang itu.
“Jangan!” lirih gadis itu manja kepada kekasihnya
ketika kekasihnya yang mahasiswa salah satu universitas negeri itu iseng
menggoda gadis dengan menyenggolkan punggungnya ke payudara sang gadis yang
sudah turun, “Becanda, Neng!” jawab pemuda itu sambil nyengir kuda.
Pemuda cabul dan gadis yang mungkin bukan gadis itu seakan sedang bercinta di
atas motor, seperti yang biasa mereka lakukan di salah satu kostan di
Gang Gelonggong itu.
Keadaan di salah satu tempat di Gang Gelonggong sudah kacau itu nampak
makin kacau.
***
Kendaraan kembali melaju pada jalurnya masing-masing,
seperti yang sudah ditetapkan oleh para pendahulu mereka.
***
“Assalamualaikum, Nek!” sapa seorang haji; yang berwajah
wali kepada si nenek.
“Syukron amat ini fagi-fagi ana udah dikasih
rejeki ama Allah.” sambut si pemuda itu dengan riang gembira. Pemuda yang
bernama Mat Ceming yang sering dianggap oleh warga sekitar sebagai seorang suci,
karena wajahnya. Konon orang ini keturunan Nabi. Mungkin karena label ini, Mat Ceming itu senang sekali saat di depan matanya
ada singkong rebus hangat yang disediakan oleh si nenek pikun untuk Acoy. Mat Ceming mengira singkong itu disediakan untuknya.
“Mat Ceming mao singkong buatan nenek?” tanya nenek sambil mengupil.
“Mao banget, ana lafar, ini.” Rupawan itu mengambil roti sumbu itu. Lantas
dimasukkan ke dalam mulutnya.
“Alhamdulillah, enak banget nih.” Mat Ceming sumringah.
“Ini masih banyak kalo lo mao lagi.” tawar
nenek dengan suka ria.
“Ya alhamduillah, nanti nenek bungkusin
aja, buat bekal ana ceramah di ulang tahun anaknya Fak Lurah.”
suruh Mat Ceming kepada nenek renta.
Kantong kresek hitam berisi singkong rebus, Mat Ceming masukkan ke dalam kantong gamisnya.
***
Ani duduk di ruang tamu rumahnya sambil memeluk boneka
yang baru saja dibelikan oleh seorang gadis muda berpenampilan sederhana. Gadis
yang mungkin ia lupakan wajahnya yang lembut, dan giginya yang bagai kelinci
itu, namun apa yang telah dilakukan gadis itu mungkin tidak akan pernah ia
lupakan. Sambil menonton tayangan musik di televisi, Ani tersenyum sendiri.
Entah Ani tersenyum karena apa, mungkin ia mengerti, atau tidak dengan apa yang
dibawakan pembawa acara. Pembawa acara mungkin lucu, atau tidak lucu bagi Ani
yang masih kecil itu, lawakkannya berisi hinaan-hinaan, seperti hinaan terhadap
wajah yang jelek, atau tubuh yang tidak proporsional. Mungkin Ani tertawa hanya
karena merasa sedang senang, dan kalau melihat hidupnya beberapa tahun lagi
mungkin ia akan menangis menyesali dirinya telah menonton tayangan TV yang tidak
sehat itu.
Ani terus mendekap boneka berbulu lembut itu.
***
Di dapur yang sempit dan kotor, Wati sedang sibuk
menyiapkan nasi uduk untuk ia dagangkan di sekolah-sekolah, untuk perut-perut
yang lapar. Pelanggannya berbagai macam, kebanyakan kuli-kuli, atau supir
angkot, atau para pedagang lain yang mungkin lupa membawa makanan dari
rumahnya, atau mungkin sengaja. Juga banyak anak jalanan yang menjadi langganan
Wati. Salah satunya Tono dkk. Mereka biasanya datang pagi-pagi ke sekolah itu
hanya untuk singgah untuk mengisi perutnya yang lapar. Kemudian mereka menyebar
di antara kerumunan manusia kota, di angkot-angkot, di bis, mereka mengamen
untuk cari makan, dan kembali lagi esoknya ke tempat yang sama untuk makan nasi
uduk buatan Wati lagi. Aktivitas mereka saling berkaitan satu sama lain.
“Ani jangan lupa itu tempenya dimakan!” teriak sang
ibu dari dapur kepada Ani yang sedang sibuk bersenang-senang dengan bonekanya.
“Jangan lupa sarapan nanti sakit!”
“Iya bu!” jawab Ani sambil matanya tak lepas dari televisi
14 inchi dan tangannya yang lekat memeluk kepala boneka beruang itu. Mulutnya
yang kecil mengatup ketika gigi depannya memotong tempe berukuran jempol orang
dewasa itu. Kemudian sambil tersenyum, anak kecil yang manis itu menikmati
tempe itu dengan senikmat-nikmatnya.
***
Beberapa meter dari perkampungan kumuh itu tinggalah Fak Lurah (Pak Lurah-red). Rumah Pak Lurah yang megah telah ramai
dikunjungi oleh tamu undangan. Berbeda dari perumahan yang beratapkan seng, rumah Pak Lurah beratapkan
genteng kodok. Dan rumahnya adalah rumah yang berdinding, dan bercat rapi
berwarna kehijau-hijauan, seperti pakaian dinasnya.
Hari itu adalah hari lahir Anak Pak Lurah, Jagur, 20
tahun. Berbagai macam pentas akan digelar, beberapa makanan tersaji di depan
halaman, dan di dalam rumah yang nanti dinikmati para pengunjung, termasuk Mat Ceming, yang kini sedang duduk di halaman depan
rumah Pak Lurah. Singkong berganti roti. Singkong yang tadi ada di perutnya
sekarang ada di tong sampah. Tong sampah yang penuh yang mungkin sudah beberapa
hari tidak diambil tukang sampah.
“Tukang sampahnya lagi sakit.” Pak Lurah yang
pendek tapi tegap itu menjawab pertanyaan seorang pengembang apartemen, Baong.
“Kalau sakit, lebih baik dipecat saja, Pak” perintah
Baong itu sambil membetulkan celananya yang kedodoran, karena terlalu besar
untuk perutnya yang besar.
“Kasian, kalo dipecat, nanti gimana nasib
anak bininya?” jawab Pak Lurah yang sedang sibuk menyalami para tamu
undangan.
“Lah, ini yang ulang tahun kemana, Pak?” tanya
seorang tamu undangan.
“Itu lagi main ke Gang Gelonggong, katanya sih mao
manggil temen-temennya. Dari kemaren belum pulang!” jawab Pak Lurah
dengan antusias, wajahnya terlihat gembira.
“Jadi gimana, Pak, udah, Bapak kasih
surat peringatan kepada warga Gang Gelonggong untuk segera meninggalkan tempat
itu?” tanya Baong tetiba sambil melepuskan asap rokok dari mulutnya yang
dipenuhi kumis dan janggut.
“Sulit, Pak, mereka kayaknya gak mao pindah tuh.”
jawab Pak Lurah sambil memersilahkan pengembang itu untuk duduk di rumahnya
yang lumayan megah.
“Wah, kalau gitu urusan bahaya, Pak.” ujar si
pengembang, jarinya yang besar-besar dan kasar lincah menuliskan pesan singkat
di telepon genggamnya.
“Bahaya bagaimana, Pak?” tanya Pak Lurah dengan
serius.
“Kan, saya sudah beri peringatan berkali-kali
untuk meninggalkan tempat itu, kok masih saja mereka membandel?”
“Bapak juga saya sudah kasih persekot untuk
menyuruh beberapa warga mendesak mereka untuk tinggalkan tempat itu.” perkataan
terus mengalir dari mulut pengembang kawasan komersil itu. Memang sudah sekitar
setahun yang lalu pengembang datang ke Pak Lurah berusaha membebaskan lahan
itu, karena birokrasi bergerak lambat. Lahan itu memang termasuk ke dalam
kawasan strategis, letaknya berada di pusat kota, dan ia berada di pinggir
jalan raya yang memungkinkan mudahnya mereka lalu lalang. Rencananya kawasan
itu akan dijadikan apartemen banyak guna, misal tempat tinggal, taman bermain
anak-anak.
“Saya sudah bagi pipti pipti sesuai perintah
bapak.” jawab Pak Lurah sambil kepalanya menunduk-nunduk pertanda patuh.
“Ya udah, liat aja nanti.” tanggap si
pengembang.
“Oke Pak, acaranya udah dimulai, ayo masuk!”
ajak Pak Lurah. Pengembang dan Pak Lurah kemudian memasuki rumah. Pesta segera
dimulai. Mat Ceming yang sedang bekerja yang memakai gamis panjang itu
melangkah panjang memasuki rumah Pak Lurah.
***
“Cepet sundut.” suruh seorang pemuda
pengangguran kepada temannya di salah satu sudut gang.
***
“Ini yang ulang tahun kemana yah?” tanya Mat Ceming di tengah kerumanan manusia yang sedang
menikmati pentas sulap. Sudah sekitar 45 menit pesta berjalan, anak Pak Lurah
belum muncul juga.
“Ini acara yang terakhir, tausyiah dan doa untuk
Jagur.” ujar Pak Lurah di tengah-tengah ruang tamu.
“Saya persilahkan Mat Abib untuk memberikan doa dan
tausyiahnya.”
“Alhamdulillah, wa syukurillah, bla bla bla…”
dari mulutnya terus mengalir kata-kata. Tamu undangan terdiam seakan
mengerti bahasa itu. Mereka diam bukan karena mengerti, karena mereka merasa
bahasa itu keluar dari mulut orang yang dianggap suci, dan bahasa yang dianggap
suci, sehingga mereka diam diri untuk menghormatinya. Mungkin kalau bahasa itu
berisi hinaan kepada keluarga tetamu undangan, mereka akan tetap khusyuk
mengamini.
“Nabi Muhammad waktu sakaratul maut memberikan
pesan terakhirnya untuk kita semua. Jamaah tahu apa pesan terakhirnya?” tanya orangnya itu kepada tetamu dalam tausyiahnya. Ia
mengambil tema kematian, karena ia menganggap mengingat kematian itu baik.
Sebaik singkong, ataupun roti.
“Tidak tahuuu!!!” seru tamu undangan beramai-ramai.
Kompak.
“Nabi berpesan begini, mohon ente sekalian
simak, sambil nangis, bibir Nabi Muhammad bergetar, mau mengatakan
sesuatu.” ujar Mat Ceming sambil mengisak-isak seakan sedang berada dalam
keadaan ketika Nabi Muhammad sakaratul maut.
***
Orang orang berlarian kemana-mana, berteriak histeris,
menangis meraung-raung. Api sudah membesar, memakan setiap jengkal petak di
pemukiman padat penduduk itu. Seakan api itu sedang bergulat dengan matahari
untuk saling memenangkan api siapa yang paling panas.
“Kebakaran! Kebakaran!” teriak suami pengangguran yang
tertimpa sebatang kayu yang tergeletak di tempat tidurnya. Kakinya patah.
Warga sekitar berhamburan keluar rumah dengan panik.
Ada mereka yang mengambil air dari selokan depan rumah, atau kali di pinggir
jalan untuk memadamkan api . Namun semua seakan sia-sia. Api semakin menjalar
dan melahap pemukiman kumuh yang berada di tengah kawasan elit itu. Menghabisi
semua yang ia lewati.
“Dimana anak saya, Pak, Bu?” Wati berlari dari ujung
gang itu bertanya-tanya kepada setiap orang yang ia temui. Matanya tak henti
mencucurkan air mata dengan derasnya. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas,
seakan-akan hari itu adalah kiamat baginya.
“Awas bu, itu api bahaya.” kata salah satu seorang
pemuda penangguran yang turut berusaha memadamkan api itu.
“Anak saya Ani, Pak, itu ada di rumah!” Wati terjatuh
di tanah yang dipenuhi dengan air comberan dan berbagai macam jenis lagi
banyaknya. Kakinya di tahan oleh warga agar tidak sampai. Tubuhnya tetap
melonjak-lonjak di tempat itu memaksa memasuki rumah yang kini mulai terbakar
habis.
***
Kejadian
sebelum kebakaran itu: “Ani, ibu berangkat dulu jualan nasi uduk.”
sahut si ibu kepada Ani sambil mendorong gerobak di luar rumah.
“Iya
bu!” jawab Ani manja yang masih mendekap boneka beruang itu dengan erat
sambil kepalanya tersender di dinding triplek bekas.
“Hati-hati di rumah ya Ani, baik-baik di rumah, ini pintu ibu kunci!” sampai si ibu
Ani
hanya terdiam, mungkin mengantuk. TV masih menyala dengan volume suara
kencang, dan kini ia tertidur dengan pulasnya. Wajahnya yang manis
tercetak erat di perut boneka beruang yang ia dekap. Senyum manisnya
mengembang, menyampaikan berjuta kebahagiaan.
***
***
“Cepat padamkan api itu!” teriak salah seorang pemadam
kebakaran yang sibuk membetulkan selang airnya yang sulit memasukki pemukiman
padat penduduk.
Langit yang cerah itu ditutupi oleh asap hitam
membumbung tinggi ke udara. Mata memandang yang ada hanya api. Api yang
berkobar yang tidak kenal belas kasihan menjalar dari satu rumah ke rumah lain.
Menghabisi setiap apa yang ada. Beberapa rumah rata dengan tanah. Ada yang
masih tegak, namun kini sudah menjadi arang, dan rongsokkan genteng yang
menyala-nyala yang menunjukkan betapa panasnya api itu di siang yang panas. Bau
gosong yang menyengat menyeruak kemana-mana. Terlihat juga di beberapa tempat,
seonggok bangkai bersandar. Suasana siang itu sungguh kacau dan mencekam.
***
“Ali RA mendekatkan telinganya ke Rasulullah saw, sambil
berbicara,” demikian Mat Ceming bekerja, “Jagalah shalat dan jagalah
orang-orang yang lemah diantara kamu!” kemudian pecah tangisan Mat Ceming,
entah ia yang suci menangis karena mengenang Muhammad saw yang ia anggap
sebagai nenek moyangnya, atau ia menangis karena dihadapkan pada kenyataan
bahwa ia sebagai pemuka agama yang harus menangis ketika membicarakan persoalan
itu.
Kemudian Mat Ceming melantunkan doa-doa dengan bahasa Arab
yang sebenarnya tidak dimengerti oleh tamu undangan.
***
“Kebakaran lagi di Gang Glonggong, kata Koran sih
konsleting listrik, salah satu korbannya anak Pak Lurah, katanya waktu
kebakaran dia lagi ketiduran, abis mabok!” kata seorang tukang
ojek yang selalu mangkal di depan gang itu kepada kawan-kawannya dan salah satu
kawannya yang terlihat sangat pucat pasi.
No comments:
Post a Comment