Tuesday, January 25, 2022

Boneka Ani dalam Dekapan

 
Dekapan tangan Ani terlepas dari genggaman ibunya, Wati, ketika kaki kecilnya beranjak melangkah dari tanah becek menuju lantai kusam berdebu. Sambil terisak, gadis kecil berusia 5 (lima) tahun itu berteriak kepada sang ibu di salah satu toko mainan, “Bu, beliin Ani boneka yang itu, seperti yang Yani punya!” Sang ibu, 23 tahun, yang sedang berada di luar toko yang menawar cabai yang harganya makin mencekik pundak, berlari menuju Ani, sambil mengangkat daster lusuhnya, sandal jepitnya berkeciplakan, menapaki tanah yang becek, “Nanti Ani.” Ani yang sedari tadi melihat keadaan sekeliling pasar yang ramai, penuh dengan kegiatan rumah tangga, kemudian hanya terpaku pada satu benda yang ingin sekali ia punya. Matanya menerawang. Boneka.

Benda yang sudah ia idamkan sejak lama, setiap kali ia datang ke pasar tradisional itu. Tangan Ani yang kecil menyentuh mainan besar yang dibungkus plastik itu, kemudian mengelusnya perlahan dengan penuh perasaan kasih, “Itu harganya Rp.200.000 Dik” kata penjual yang sedang sibuk menikmati jajanan rujaknya yang sebentar-sebentar digoyang-goyangkan untuk menghindari sergapan lalat yang terlihat menjijikkan. “Oh, iya Mbak, emang ini anak bandel, banyak maunya.” Penjual hanya tersenyum sambil memasukkan bengkoang, sama sambel, dan mungkin beberapa kotoran lalat yang mampir ke dalam perutnya yang besar itu. Ani dan Wati melangkah dari tempat yang penuh sampah dimana-mana.
***
Pagi itu, seperti hari-hari biasanya, Gang Gelonggong yang terletak di pusat perkotaan, di antara 2 (dua) apartemen komersil, dan pusat perbelanjaan padat. Kendaraan beroda-roda yang berhamburan di sekelilinginya, orang-orang juga lalu lalang disekitarnya. Ada yang sibuk dengan telepon genggamnya, entah sedang menelepon siapa, ada juga anak kecil yang sedang meminta-minta di setiap kaca jendela mobil. Menciptakan simpul mati yang tak beraturan..
Matahari yang makin meninggi terlihat dari balik kabel-kabel listrik yang hitam yang yang berjuntai dari tiang listrik-tiang listrik yang berdekatan dan yang berjauhan. Seng, kardus bekas, triplek, dan alat bangunan lain yang tua-tua yang dijadikan tempat bernaung warga Gang Glonggong dari hari ke hari, meski kadang saling mengancam dalam senyum yang miris.
Di gang itu yang terdiri dari beberapa petak lahan, manusia berhamburan dari rumahnya, seperti tikus yang sedang kelaparan mau mencari makan. Antara satu rumah dengan rumah lain tak ada jarak. Dan rumah-rumah itu saling berhadapan secara rapat, mungkin hanya 2 (dua) langkah kaki dewasa.
Terlihat seorang pria yang membersihkan gerobaknya dengan air dari sebuah selang yang terlampau panjang. Saking panjangnya selang itu mungkin lebih panjang dari nyawa warga sekitar. Selang itu disambungkan dari kamar mandi warga kampung yang memiliki air berlimpah, melewati ruang tengah, ruang makan, sekaligus tempat tidur, kemudian sampai di halaman depan yang tertutup gerobak.
Kalau kita coba tengok ke dalam rumah itu, mungkin ia tidak terlihat karena pintu rumah ketutupan gerobak. “Pak, lagi bersih-bersih?” tegur seorang satpam yang di siang hari pun memakai pakaian satpam, bukan karena ia satpam yang rajin, tapi karena tidak ada pakaian ganti lain selain baju satpam. Dan pakaian itu adalah pakaian kebanggannya. Karena ia telah lama menjadi satpam, dan karena itu pula ia dikenal warga kampung sebagai “Pak Satpam”.
 “Iya nih, kalo gerobak saya kotor mana mau pembeli membeli Mie Ayam buatan saya.” kata Mas Acoy, pemuda keturunan, sambil menyemburkan air ke gerboknya, lantas ia elap dengan kain lusuh, bekas ia injak-injak.
Air cucian gerobak Mas Acoy mengalir kemana-mana, sudah seperti aliran Sungai Bengawan Solo; mengalir sampai jauh. Ia mengalir dari hilir ke hulu, anak-anak kecil yang bermain air menciprat-cipratkan genangan air di sebuah legokan. Air itu mengalir dari sisi ke sisi, menyusuri jalanan yang dipenuhi sampah di kedua sisinya.
Sialan nih anak, kecil-kecil udah nyusahin orang!” teriak Bu Pojo, wanita bertubuh tambun yang sedang menyapu halamannya.
Ngapain sih ibu marah-marahin anak kecil, mending bikinin sarapan buat bapak.” seorang tua yang bertubuh kekar itu menyaut malas kepada sang istri yang sedang sibuk menyapu.
“Dasar pengangguran! Kerjaannya nyuruh orang doang, sana cari kerja buat makan!” Bu Pojo ngamuk melihat tingkah polah suaminya yang ia rasa sudah kelewatan itu. Bu Pojo merasa dipekerjakan secara paksa. Ia merasa suaminya itu semacam penjajah Belanda yang membunuh kakeknya yang veteran dan yang memeras keringat dan menghisap darah rakyat yang terjajah. Namun ia tidak bisa apa-apa, karena tidak ada pilihan lain. Mau cerai? Takut dosa, takut suami, takut anaknya terlantar, dan ketakutan lainnya. Kemudian Ibu itu bilang begini, “Noh, liat anak lo tiduran doang di kamar atas, abis mabok kayaknya tuh!” mulutnya yang penuh dengan amarah terus melontarkan kata-kata penuh cacian, “Bapaknya aja kayak gini, mana mau anaknya cari kerja!” Bapak itu hanya tersenyum kecut, lalu melanjutkan tidurnya yang kepagian itu.
***
“Nah, seneng gak udah dibeliin boneka ama enon  yang tadi?” kata Wati yang sambil menggendong belanjaannya ke atas becak. “Seneng banget, Bu.” jawab Ani dengan tanpa menghiraukan Ibunya yang sedang sibuk. Mata Ani berbinar-binar, sambil terus mendekap boneka itu, dicium-ciumnya, seperti sedang mendekap nyawanya sendiri.
Keringat Wati berjatuhan dari atas becak di antara ke kedua kakinya yang kurus namun tegap. Lelah telah menyusuri pasar yang luas dan berdesak-desakkan. Namun itu semua belum selesai. Pelanggannya telah menantinya untuk diberi makan. Sementara supir becak terus menginjak sadelnya, tak berkata apa apa, hanya berharap bahwa mereka berdua bukanlah penumpang terakhir pada hari itu.
“Nanti Ani bantuin ibu jualan nasi uduk ya?” kata sang ibu sambil mengelus rambut Ani.
Gak ah, Ani mau main aja sama boneka ini, Bu.” Ani masih mendekap boneka itu. Ibunya tersenyum. Di becak itu yang sedang melaju di jalan raya ibu kota yang padat, badan Ani yang kecil terhimpit di antara sayuran, beras, minyak goreng, dan badan sang ibu yang penuh peluh. Jalanan itu cukup lapang, namun begitu bukan berarti tidak sempit. Mobil dan motor keder dimana-mana, bolak-balik sibuk mengantarkan penumpangnya menuju tempatnya masing-masing. Kadang asap kendaraan menerpa tubuh kedua anak manusia yang sedang duduk di atas becak. Mereka hanya bisa menutup hidungnya dengan tangannya yang kusam, dipenuhi berbagai macam kotoran, kuman, dan getir hidup yang tertulis di antara jari-jari telapak tangannya yang tegar.
***
 Sempit amat nih jalanan.” seorang mahasiswa menyaut dari depan becak tua itu. Terlihat di sepeda motor baru produksi Japan yang masih mulus, seorang pemuda sedang membonceng seorang gadis. Motor itu sulit melewati jalanan itu karena ada becak di depannya, dan sulit mundur karena ada gerobak Mie Acoy yang mau keluar dari gang itu.
“Jangan!” lirih gadis itu manja kepada kekasihnya ketika kekasihnya yang mahasiswa salah satu universitas negeri itu iseng menggoda gadis dengan menyenggolkan punggungnya ke payudara sang gadis yang sudah turun, “Becanda, Neng!” jawab pemuda itu sambil nyengir kuda. Pemuda cabul dan gadis yang mungkin bukan gadis itu seakan sedang bercinta di atas motor, seperti yang biasa mereka lakukan di salah satu kostan di Gang Gelonggong itu.
Keadaan di salah satu tempat di Gang Gelonggong sudah kacau itu nampak makin kacau.
***
Kendaraan kembali melaju pada jalurnya masing-masing, seperti yang sudah ditetapkan oleh para pendahulu mereka.
***
“Assalamualaikum, Nek!” sapa seorang haji; yang berwajah wali kepada si nenek.
“Syukron amat ini fagi-fagi ana udah dikasih rejeki ama Allah.” sambut si pemuda itu dengan riang gembira. Pemuda yang bernama Mat Ceming yang sering dianggap oleh warga sekitar sebagai seorang suci, karena wajahnya. Konon orang ini keturunan Nabi. Mungkin karena label ini, Mat Ceming itu senang sekali saat di depan matanya ada singkong rebus hangat yang disediakan oleh si nenek pikun untuk Acoy. Mat Ceming mengira singkong itu disediakan untuknya.
“Mat Ceming mao singkong buatan nenek?” tanya nenek sambil mengupil.
Mao banget, ana lafar, ini.” Rupawan itu mengambil roti sumbu itu. Lantas dimasukkan ke dalam mulutnya.
Alhamdulillah, enak banget nih.” Mat Ceming sumringah.
“Ini masih banyak kalo lo mao lagi.” tawar nenek dengan suka ria.
“Ya alhamduillah, nanti nenek bungkusin aja, buat bekal ana ceramah di ulang tahun anaknya Fak Lurah.” suruh Mat Ceming kepada nenek renta.
Kantong kresek hitam berisi singkong rebus, Mat Ceming masukkan ke dalam kantong gamisnya.
***
Ani duduk di ruang tamu rumahnya sambil memeluk boneka yang baru saja dibelikan oleh seorang gadis muda berpenampilan sederhana. Gadis yang mungkin ia lupakan wajahnya yang lembut, dan giginya yang bagai kelinci itu, namun apa yang telah dilakukan gadis itu mungkin tidak akan pernah ia lupakan. Sambil menonton tayangan musik di televisi, Ani tersenyum sendiri. Entah Ani tersenyum karena apa, mungkin ia mengerti, atau tidak dengan apa yang dibawakan pembawa acara. Pembawa acara mungkin lucu, atau tidak lucu bagi Ani yang masih kecil itu, lawakkannya berisi hinaan-hinaan, seperti hinaan terhadap wajah yang jelek, atau tubuh yang tidak proporsional. Mungkin Ani tertawa hanya karena merasa sedang senang, dan kalau melihat hidupnya beberapa tahun lagi mungkin ia akan menangis menyesali dirinya telah menonton tayangan TV yang tidak sehat itu.
Ani terus mendekap boneka berbulu lembut itu.

***
Di dapur yang sempit dan kotor, Wati sedang sibuk menyiapkan nasi uduk untuk ia dagangkan di sekolah-sekolah, untuk perut-perut yang lapar. Pelanggannya berbagai macam, kebanyakan kuli-kuli, atau supir angkot, atau para pedagang lain yang mungkin lupa membawa makanan dari rumahnya, atau mungkin sengaja. Juga banyak anak jalanan yang menjadi langganan Wati. Salah satunya Tono dkk. Mereka biasanya datang pagi-pagi ke sekolah itu hanya untuk singgah untuk mengisi perutnya yang lapar. Kemudian mereka menyebar di antara kerumunan manusia kota, di angkot-angkot, di bis, mereka mengamen untuk cari makan, dan kembali lagi esoknya ke tempat yang sama untuk makan nasi uduk buatan Wati lagi. Aktivitas mereka saling berkaitan satu sama lain.
“Ani jangan lupa itu tempenya dimakan!” teriak sang ibu dari dapur kepada Ani yang sedang sibuk bersenang-senang dengan bonekanya. “Jangan lupa sarapan nanti sakit!”
“Iya bu!” jawab Ani sambil matanya tak lepas dari televisi 14 inchi dan tangannya yang lekat memeluk kepala boneka beruang itu. Mulutnya yang kecil mengatup ketika gigi depannya memotong tempe berukuran jempol orang dewasa itu. Kemudian sambil tersenyum, anak kecil yang manis itu menikmati tempe itu dengan senikmat-nikmatnya.

***
Beberapa meter dari perkampungan kumuh itu tinggalah Fak Lurah (Pak Lurah-red). Rumah Pak Lurah yang megah telah ramai dikunjungi oleh tamu undangan. Berbeda dari perumahan yang beratapkan seng, rumah Pak Lurah beratapkan genteng kodok. Dan rumahnya adalah rumah yang berdinding, dan bercat rapi berwarna kehijau-hijauan, seperti pakaian dinasnya.
Hari itu adalah hari lahir Anak Pak Lurah, Jagur, 20 tahun. Berbagai macam pentas akan digelar, beberapa makanan tersaji di depan halaman, dan di dalam rumah yang nanti dinikmati para pengunjung, termasuk Mat Ceming, yang kini sedang duduk di halaman depan rumah Pak Lurah. Singkong berganti roti. Singkong yang tadi ada di perutnya sekarang ada di tong sampah. Tong sampah yang penuh yang mungkin sudah beberapa hari tidak diambil tukang sampah.
“Tukang sampahnya lagi sakit.” Pak Lurah yang pendek tapi tegap itu menjawab pertanyaan seorang pengembang apartemen, Baong.
“Kalau sakit, lebih baik dipecat saja, Pak” perintah Baong itu sambil membetulkan celananya yang kedodoran, karena terlalu besar untuk perutnya yang besar.
Kasian, kalo dipecat, nanti gimana nasib anak bininya?” jawab Pak Lurah yang sedang sibuk menyalami para tamu undangan.
Lah, ini yang ulang tahun kemana, Pak?” tanya seorang tamu undangan.
“Itu lagi main ke Gang Gelonggong, katanya sih mao manggil temen-temennya. Dari kemaren belum pulang!” jawab Pak Lurah dengan antusias, wajahnya terlihat gembira.
“Jadi gimana, Pak, udah, Bapak kasih surat peringatan kepada warga Gang Gelonggong untuk segera meninggalkan tempat itu?” tanya Baong tetiba sambil melepuskan asap rokok dari mulutnya yang dipenuhi kumis dan janggut.
“Sulit, Pak, mereka kayaknya gak mao pindah tuh.” jawab Pak Lurah sambil memersilahkan pengembang itu untuk duduk di rumahnya yang lumayan megah.
“Wah, kalau gitu urusan bahaya, Pak.” ujar si pengembang, jarinya yang besar-besar dan kasar lincah menuliskan pesan singkat di telepon genggamnya.
“Bahaya bagaimana, Pak?” tanya Pak Lurah dengan serius.
Kan, saya sudah beri peringatan berkali-kali untuk meninggalkan tempat itu, kok masih saja mereka membandel?”
“Bapak juga saya sudah kasih persekot untuk menyuruh beberapa warga mendesak mereka untuk tinggalkan tempat itu.” perkataan terus mengalir dari mulut pengembang kawasan komersil itu. Memang sudah sekitar setahun yang lalu pengembang datang ke Pak Lurah berusaha membebaskan lahan itu, karena birokrasi bergerak lambat. Lahan itu memang termasuk ke dalam kawasan strategis, letaknya berada di pusat kota, dan ia berada di pinggir jalan raya yang memungkinkan mudahnya mereka lalu lalang. Rencananya kawasan itu akan dijadikan apartemen banyak guna, misal tempat tinggal, taman bermain anak-anak.
“Saya sudah bagi pipti pipti sesuai perintah bapak.” jawab Pak Lurah sambil kepalanya menunduk-nunduk pertanda patuh.
“Ya udah, liat aja nanti.” tanggap si pengembang.
“Oke Pak, acaranya udah dimulai, ayo masuk!” ajak Pak Lurah. Pengembang dan Pak Lurah kemudian memasuki rumah. Pesta segera dimulai. Mat Ceming yang sedang bekerja yang memakai gamis panjang itu melangkah panjang memasuki rumah Pak Lurah.
***
“Cepet sundut.” suruh seorang pemuda pengangguran kepada temannya di salah satu sudut gang.
***
“Ini yang ulang tahun kemana yah?” tanya Mat Ceming di tengah kerumanan manusia yang sedang menikmati pentas sulap. Sudah sekitar 45 menit pesta berjalan, anak Pak Lurah belum muncul juga.
“Ini acara yang terakhir, tausyiah dan doa untuk Jagur.” ujar Pak Lurah di tengah-tengah ruang tamu.
“Saya persilahkan Mat Abib untuk memberikan doa dan tausyiahnya.”
“Alhamdulillah, wa syukurillah, bla bla bla…” dari mulutnya terus mengalir kata-kata. Tamu undangan terdiam seakan mengerti bahasa itu. Mereka diam bukan karena mengerti, karena mereka merasa bahasa itu keluar dari mulut orang yang dianggap suci, dan bahasa yang dianggap suci, sehingga mereka diam diri untuk menghormatinya. Mungkin kalau bahasa itu berisi hinaan kepada keluarga tetamu undangan, mereka akan tetap khusyuk mengamini.
“Nabi Muhammad waktu sakaratul maut memberikan pesan terakhirnya untuk kita semua. Jamaah tahu apa pesan terakhirnya?” tanya orangnya itu kepada tetamu dalam tausyiahnya. Ia mengambil tema kematian, karena ia menganggap mengingat kematian itu baik. Sebaik singkong, ataupun roti.
“Tidak tahuuu!!!” seru tamu undangan beramai-ramai. Kompak.
“Nabi berpesan begini, mohon ente sekalian simak, sambil nangis, bibir Nabi Muhammad bergetar, mau mengatakan sesuatu.” ujar Mat Ceming sambil mengisak-isak seakan sedang berada dalam keadaan ketika Nabi Muhammad sakaratul maut.
***
Orang orang berlarian kemana-mana, berteriak histeris, menangis meraung-raung. Api sudah membesar, memakan setiap jengkal petak di pemukiman padat penduduk itu. Seakan api itu sedang bergulat dengan matahari untuk saling memenangkan api siapa yang paling panas.
“Kebakaran! Kebakaran!” teriak suami pengangguran yang tertimpa sebatang kayu yang tergeletak di tempat tidurnya. Kakinya patah.
Warga sekitar berhamburan keluar rumah dengan panik. Ada mereka yang mengambil air dari selokan depan rumah, atau kali di pinggir jalan untuk memadamkan api . Namun semua seakan sia-sia. Api semakin menjalar dan melahap pemukiman kumuh yang berada di tengah kawasan elit itu. Menghabisi semua yang ia lewati.
“Dimana anak saya, Pak, Bu?” Wati berlari dari ujung gang itu bertanya-tanya kepada setiap orang yang ia temui. Matanya tak henti mencucurkan air mata dengan derasnya. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas, seakan-akan hari itu adalah kiamat baginya.
“Awas bu, itu api bahaya.” kata salah satu seorang pemuda penangguran yang turut berusaha memadamkan api itu.
“Anak saya Ani, Pak, itu ada di rumah!” Wati terjatuh di tanah yang dipenuhi dengan air comberan dan berbagai macam jenis lagi banyaknya. Kakinya di tahan oleh warga agar tidak sampai. Tubuhnya tetap melonjak-lonjak di tempat itu memaksa memasuki rumah yang kini mulai terbakar habis.

***
Kejadian sebelum kebakaran itu: “Ani, ibu berangkat dulu jualan nasi uduk.” sahut si ibu kepada Ani sambil mendorong gerobak di luar rumah.
“Iya bu!” jawab Ani manja yang masih mendekap boneka beruang itu dengan erat sambil kepalanya tersender di dinding triplek bekas.
“Hati-hati di rumah ya Ani, baik-baik di rumah, ini pintu ibu kunci!” sampai si ibu


Ani hanya terdiam, mungkin mengantuk. TV masih menyala dengan volume suara kencang, dan kini ia tertidur dengan pulasnya. Wajahnya yang manis tercetak erat di perut boneka beruang yang ia dekap. Senyum manisnya mengembang, menyampaikan berjuta kebahagiaan.

***
“Cepat padamkan api itu!” teriak salah seorang pemadam kebakaran yang sibuk membetulkan selang airnya yang sulit memasukki pemukiman padat penduduk. 
Langit yang cerah itu ditutupi oleh asap hitam membumbung tinggi ke udara. Mata memandang yang ada hanya api. Api yang berkobar yang tidak kenal belas kasihan menjalar dari satu rumah ke rumah lain. Menghabisi setiap apa yang ada. Beberapa rumah rata dengan tanah. Ada yang masih tegak, namun kini sudah menjadi arang, dan rongsokkan genteng yang menyala-nyala yang menunjukkan betapa panasnya api itu di siang yang panas. Bau gosong yang menyengat menyeruak kemana-mana. Terlihat juga di beberapa tempat, seonggok bangkai bersandar. Suasana siang itu sungguh kacau dan mencekam.
***       
“Ali RA mendekatkan telinganya ke Rasulullah saw, sambil berbicara,” demikian Mat Ceming bekerja, “Jagalah shalat dan jagalah orang-orang yang lemah diantara kamu!” kemudian pecah tangisan Mat Ceming, entah ia yang suci menangis karena mengenang Muhammad saw yang ia anggap sebagai nenek moyangnya, atau ia menangis karena dihadapkan pada kenyataan bahwa ia sebagai pemuka agama yang harus menangis ketika membicarakan persoalan itu.
Kemudian Mat Ceming melantunkan doa-doa dengan bahasa Arab yang sebenarnya tidak dimengerti oleh tamu undangan.
***
“Kebakaran lagi di Gang Glonggong, kata Koran sih konsleting listrik, salah satu korbannya anak Pak Lurah, katanya waktu kebakaran dia lagi ketiduran, abis mabok!” kata seorang tukang ojek yang selalu mangkal di depan gang itu kepada kawan-kawannya dan salah satu kawannya yang terlihat sangat pucat pasi.

No comments:

Post a Comment

Cintaku Cuma Kamu